Generasi Bebas
     Pandangan Hidup
     Misi Hidup
     Tingkat Moral
     Mencari Kebenaran
     Menilai Kebenaran
     Orang Indonesia
     Don't Care
     Phase Cinta
     Kebutuhan Utama
     Mengapa Jahat
     Adil = Unik
     Tujuan Hidup
     Komunikasi...
     Penyakit Politik
     Sistem Berpikir
     Kendali Pikiran
     Kebodohan
     Sukses = Berubah
     Iman & Kebenaran
     Kunci Sukses
     Pemerintah Idola
     Sex Education
     Ilmu & Kebenaran
     *sekilas
     *pulang kampung
     *share
     *Buku Tamu
     *kontak admin



Novel "GENERASI BEBAS" - Don't Care


8

DON’T CARE

 

Kebanyakan orang kota, termasuk Aris yang merasa sudah lama hidup dikota, cendrung mengganggap orang yang baru datang dari desa sebagai orang yang kampungan.

Persepsi inilah yang ibu Nuyami tidak suka, karena menurut dia zaman sekarang ini, kehidupan didesa tidak terlalu berbeda dengan kehidupan di perkotaan.

Terutama karena berbagai bentuk media massa telah menyentuh kehidupan masyarakat di pedesaan, bahkan tidak hanya TV, radio, koran dan majalah tetapi juga internet pun  sudah mulai akrab dengan masyarakat pedesaan.

Ibu Nuyami sendiri hampir setiap hari browsing melalui ponselnya, dunia maya seakan sudah tidak bisa dipisahkan dari hidupnya.  Karena itu ketika mendengar Aris dan temannya Dante ngobrol soal internet, ibu Nuyami langsung nyambung.

Membuat Aris kaget sekaligus penasaran, “dari mana mama tau soal itu?“ namun dengan sedikit kesal.

“Tentu saja mama tau soal itu, tiap hari mama browsing walaupun cuma melalui HP” ibu Nuyami tersenyum kearah Dante yang nampak keheranan menatap kearahnya.

Dante pun ikut tersenyum, “oh… biasanya ke situs mana saja bu?” sedikit gugup.

“He…he… rahasia dong, tapi ibu punya account di Friendster, Facebook, punya wapsite di Wen dot ru, ibu juga sering buka blahgirls.com” ibu Nuyami tersungging.

Aris dan Dante saling berpandangan dengan gaya sedikit meledek, namun kemudian keduanya berdebat dalam perjalanan menuju sebuah warnet, sehubungan dengan apa yang dikatakan ibu Nuyami, ibunya Aris itu.

“Masak ibu kamu baru datang dari desa sih?” Dante nampak ragu.

“Iyalah, makanya dulu-dulu ngak ada dia disinikan, emangnya kamu pikir dia dari Jakarta sono?” dengan gaya kesal bahkan sedikit marah.

“Ris, aku malah ngak yakin kalau dia itu ibu kamu, kok masih muda gitu, emang umur kamu berapa sih?” Dante nampak semakin tidak percaya, membuat hati Aris semakin panas.

“Terserah kamu deh, pakai ngak percaya segala, emang menurut kamu ibu ku itu siapa kalau aku ini dianggap penipu?” Aris nampak tersinggung.

“Oh, maaf ya Ris, bukan begitu maksudku, aku ngak nyangka meskipun ibu kamu dari kampung tetapi penampilannya…”  Dante sepertinya rada takut juga kalau Aris benar-benar marah, sebelum keduanya terlarut dalam keasyikan masing-masing di sebuah warnet.

Meskipun Aris nampak seakan tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Dante, namun sebenarnya pikiran dia berkecamuk, karena apa yang dia duga sekaligus takuti selama ini pun terjadi, yaitu “komentar-komentar miring dari orang-orang” terhadap ibunya.

Sekitar jam sepuluh malam Aris pun pulang dari warnet, dia memastikan bahwa ibunya sedang nonton TV, namun ternyata tidak, ibunya justru tertidur di sofa yang sedikit lusuh dikamar tamu, menunggu Aris.

Entah mungkin masih digrogoti rasa kesal, begitu pintu dibukakan, tanpa ngomong Aris langsung menuju kamarnya.

Namun sikap Aris ini justru membuat ibunya penasaran sehingga dia pun mengikuti Aris dari belakang, kemudian bertanya: “kenapa Ris? Ada masalah Ris?”

“Ah, ngak apa-apa kok, dah ngantuk, mo tidur aja…” Aris menunjukkan kekesalannya.

“Tapi cium mama dulu dong!” ibunya pura-pura tidak menyadari kekesalan Aris, dengan mendekati Aris yang sudah mulai berselimut.

“Ma…tolonglah ma, jangan terlalu sok gaul, terus terang aja aku merasa malu, terutama kepada teman-teman, mereka kadang menilai macam-macam, coba aja ma, si Dante aja ngak percaya kalau mama itu ibunya Aris” Aris membalikkan badannya kearah dinding seakan tidak mau peduli lagi apa yang akan dikatakan oleh ibunya.

Ibunya tersenyum, namun tersenyum kepada dinding, dan dengan sedikit dipaksakan, karena Aris memang tidak melihat kepadanya, “ya Ris, mama akan coba, jadi mama harus bisa berpenampilan orang kampungan, lugu, menjadi tua…” ibunya terdiam sejenak menunggu reaksi Aris namun nampaknya dia sudah tertidur, sehingga ibunya bermaksud pergi meninggalkan Aris.

Namun ketika ibunya hendak menutup pintu kamar tiba-tiba Aris terbangun dan langsung memanggil, “ma! Maaf ya ma, tapi aku juga bingung…” sekaligus menoleh kearah ibunya.

Ibunya pun kembali menghampiri Aris, “sebenarnya dulu waktu mama masih dikampung mama sempat tersiksa dengan penilaian orang terhadap keluarga kita, gosip yang memalukan bertebaran setiap hari dan tidak habis-habisnya, namun akhirnya mama berfikir daripada mama gila dengan penilaian orang-orang yang merasa lebih pintar, tau diri, sok normal, karena mereka kadang menganggap orang lain gila, lebih baik mama tidak peduli dengan mereka, pokoknya mama buat apa saja yang mama suka ngak peduli dengan mereka, ya akhirnya mereka bosan sendiri gosipin mama”

Sementara mendengarkan ibunya Aris terbangun dan duduk diatas tempat tidur disisi ibunya, “benar juga ma, kadang orang terlalu mudah membuat kesimpulan terhadap seseorang, mereka tidak sadar bahwa mereka juga belum tentu lebih baik.” Aris tersenyum untuk tidur nyenyak malam itu.


Terima kasih kepada: 47 visitors (54 hits) di halaman ini.

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free