Generasi Bebas
     Pandangan Hidup
     Misi Hidup
     Tingkat Moral
     Mencari Kebenaran
     Menilai Kebenaran
     Orang Indonesia
     Don't Care
     Phase Cinta
     Kebutuhan Utama
     Mengapa Jahat
     Adil = Unik
     Tujuan Hidup
     Komunikasi...
     Penyakit Politik
     Sistem Berpikir
     Kendali Pikiran
     Kebodohan
     Sukses = Berubah
     Iman & Kebenaran
     Kunci Sukses
     Pemerintah Idola
     Sex Education
     Ilmu & Kebenaran
     *sekilas
     *pulang kampung
     *share
     *Buku Tamu
     *kontak admin



Novel "GENERASI BEBAS" - Kebodohan


18

AYAM MATI DALAM LUMBUNG

 

Sebenarnya jarak antara kota Balipapan dengan kampung Aris tidak terlalu jauh , cuma biayanya yang terlalu mahal sejak ada kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pertengahan tahun dua ribu delapan lalu. Jika menumpang bis kurang lebih dua belas jam perjalanan yang  tarifnya bisa mencapai seratus lima puluh ribu per orang. Tetapi Aris dan ibunya berniat untuk ikut kapal sungai saja, meskipun harus dua malam mereka dalam perjalanan.

Selain lebih nyaman dan aman, menumpang kapal bisa sambil menikmati pemandangan alam di sepanjang tepi pantai sungai Mahakam, suatu keindahan alam yang selalu menarik bagi Aris dan ibunya, membuat mereka selalu ingin mengadakan perjalanan dengan menumpang kapal.

“Sepanjang perjalanan aku menghitung sudah empat tongkang pengangkut batubara, jika setiap tongkang itu bermuatan lima ton berarti setidaknya ada dua puluh ton batubara diangkut setiap hari yang entah menuju kemana ya?”  Aris berkomentar sambil menunjukkan sebuah kapal pengangkut batubara yang melintas, di sungai mahakam itu.

“Iya, itulah masalahnya, meskipun berton-ton batubara diangkut dari tanah kita sendiri tetapi kita tetap miskin, sama seperti kita tidak tau kemana semuanya itu diangkut begitu juga kita tidak tau kemana hasil penjualan batubara itu.” Ibunya nampak termenung.

“Mengapa kita anak pribumi ini tidak disekolahkan di pertambangan agar kita bisa mengelola sendiri tambang kita, bukan orang asing…” Aris kesal.

“Seharusnya begitu jika pemerintah kita ini sadar bahwa kekayaan sumber daya alam kita itu bisa habis, tetapi pemerintah kita terlalu egois karena merasa sudah kaya, mereka tidak peduli dengan masa depan orang lain, pemerintah kita membangun perkebunan dan pertanian, pedahal seratus tahun kedepan kita tidak akan terlambat dalam soal pertanian dan perkebunan, sebaliknya kita akan terlambat mengelola sumber daya kekayaan alam kita jika tidak sekarang, sehingga ketika sumber kekayaan alam kita sudah habis kita tetap saja miskin, pedahal kalau kita, yaitu seluruh masyarakat setempat bisa mengelola sendiri kekayaan alam itu maka kita sudah kaya raya sebelum kekayaan alam itu habis.” Ibunya menarik nafas panjang yang diikuti Aris.

“Ma bagaimana kalau kita terlibat dalam politik aja ma?” Aris berbicara setelah lama terdiam, “agar kita bisa menyelamatkan kekayaan alam kita itu ma?”

“Ah, siapa yang mau mendengarkan kita? Seperti udah mama katakan waktu dirumah pak Anton kemarin itu, bahwa jika kita tidak ‘bermain’ atau jika kita terlalu jujur dalam berpolitik meskipun kita punya program dan rencana kebijakan yang baik jangan harap kita menang, karena dalam dunia politik selalu ada yang licik atau picik, sementara masyarakat kita belum dewasa dalam berdemokrasi maka jelas yang licik atau picik itulah yang akan menang, dan itulah yang membuat bangsa kita begini-begini aja, tidak ada perubahan…"

“Jadi kalau begitu benar kalau orang bilang politik itu kotor?” Aris bertanya spontanitas.


Terima kasih kepada: 23 visitors (27 hits) di halaman ini.

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free