Generasi Bebas
     Pandangan Hidup
     Misi Hidup
     Tingkat Moral
     Mencari Kebenaran
     Menilai Kebenaran
     Orang Indonesia
     Don't Care
     Phase Cinta
     Kebutuhan Utama
     Mengapa Jahat
     Adil = Unik
     Tujuan Hidup
     Komunikasi...
     Penyakit Politik
     Sistem Berpikir
     Kendali Pikiran
     Kebodohan
     Sukses = Berubah
     Iman & Kebenaran
     Kunci Sukses
     Pemerintah Idola
     Sex Education
     Ilmu & Kebenaran
     *sekilas
     *pulang kampung
     *share
     *Buku Tamu
     *kontak admin



Novel "GENERASI BEBAS" - Menilai Kebenaran


6

MENGUKUR KEBENARAN

 

“Sehabis makan pagi kita ke pasar ya ma?” ajak Aris sesampai dirumah, sekitar jam tujuhan.

“Ya, sehabis mandikan…” ibunya sedikit mengejek, sedikit tersenyum, “atau kita bawa aja bau kita kepasar, setelah itu baru kita mandi, sekaligus buang bau pasar…he..he…”  ibunya sedikit tertawa, sambil membukakan sepatunya, kemudian langsung menuju meja makan.

Sementara makan, Aris mulai lagi dengan pikirannya, bahwa ada yang suatu yang belum selesai dengan ibunya, untuk itu dia bertanya lagi, “apakah sesederhana itu untuk membuktikan kebenaran tersebut ma?” Aris coba menghubungkan dengan pembicaraan waktu lari-lari pagi tadi.

“Sebenarnya hanya kepada kamu mama katakan itu, kalau sempat mama ngomong begitu ke orang lain pasti mama dicemooh, pokoknya sampai ada orang lain yang dengar omongan mama itu jelas akan menjadi masalah besar bagi mama, orang-orang munafik akan mengamuk kalau agama mereka dipertanya kebenarannya.”

“Aku mengerti ma, pemikiran seperti itu beresiko tetapi yang disebut kebenaran adalah yang terpenting dalam kehidupan kita manusia, lalu bagaimana agar orang lain bisa mengerti pemikiran seperti itu”  Aris berhenti mengunyah menunggu tanggapan ibunya.

“Ada tiga konsep umum orang mengukur kebenaran, yaitu, pertama, dengan kepuasan bathin, dimana seorang menjadi semakin yakin dengan yang dia anut setelah merasakan kedamaian pikiran, jadi kebenaran dinilai berdasarkan apa yang dia rasakan, kedua, dengan rasionalitas, dia hanya percaya kepada yang dia anggap rasional, dan ketiga dengan pengalaman spritual, dimana keyakinan seorang dibentuk oleh pengalaman, seperti doa-doa yang dijawab, kejadian-kejadian ‘ajaib’ yang dia saksikan dan sebagainya.”

Aris mengeryit dahi seakan berpikir keras, “tapi ma, aku bingung setiap orang dari agama manapun mengaku doa-doanya telah dijawab oleh Tuhan, apakah ini tidak berarti bahwa semua agama benar, karena Tuhan mendengar doa semua orang dari agama manapun?”

“Itulah masalahnya, makanya tiga konsep diatas belum bisa diandalkan untuk mengukur kebenaran, karena lima puluh orang pengikut agama ‘A’ contohnya, belum tentu memiliki perasaaan, pandangan dan pengalaman spritual yang sama terhadap agama ‘A’ yang mereka anut itu, makanya meskipun ada diantara mereka yang merasa mendapatkan kepuasan bathin, menilai sebagai yang paling rasional, mengalami perjalanan spritual yang sangat mengesankan dengan agama ‘A,’ namun sebaliknya diantara mereka ada juga yang berkelana ke agama lain karena merasa tidak menemukan ketenangan bathin dengan agama  ‘A’ tersebut, atau mengganggap agama ‘A’ tidak rasional, bahkan kadang mereka mencela agama yang mereka tinggalkan itu.”

“Jadi kalau begitu, bagaimana caranya kita bisa menemukan kebenaran?” Aris semakin terlarut dalam pikiran filsafat ibunya.

“Ya seperti yang mama katakan ketika kita lari-lari tadi, bahwa kita harus datang sendiri kepada Allah meminta petunjuk mana itu kebenaran, karena memang sejak zaman dulu begitulah caranya, hanya orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran dengan ketulusan hati akan menemukan kebenaran itu, makanya dulu di Yunani contohnya, ada mezbah untuk menyembah ‘Allah yang tidak dikenal’ diantara orang-orang yang menyembah berhala, demikian juga dalam kepercayaan kita orang Dayak ada istilah ‘Alla La Talla’ yaitu sebutan untuk Allah pencipta alam semesta, yang disembah mereka yang tidak percaya kepada Aninisme.”

“Jadi, maksud mama jika seorang tidak menemukan kebenaran maka berarti dia tidak sungguh-sungguh dengan ketulusan hati untuk mendapatkan kebenaran itu?”

“Iya begitu, orang yang tidak sungguh-sungguh mencari kebenaran tetapi beragama maka jelas berarti orang yang munafik, kemudian orang yang sungguh-sungguh beragama tetapi tidak pada jalur kebenaran berarti orang yang tidak beriman, karena iman beda dengan keyakinan, orang boleh saja yakin apa yang mereka lakukan adalah kebenaran tetapi jika itu bukan kehendak Allah maka itu bukan iman, ngerti maksud mama?” ibunya  tersenyum sementara mengunyah.

“Belum ma…” Aris dengan ekspresi bingung.

“Gini, Ris, banyak orang didunia ini, seperti yang mama sebutkan tadi, yang terlalu yakin akan agamanya, bahkan bertindak radikal untuk membela agamanya, tetapi jika ternyata itu bukan kehendak Allah, atau bukan di jalur kebenaran, maka jelas bahwa keyakinan mereka itu hanya sebatas keyakinan belum sampai kepada apa yang disebut iman…karena iman berarti yakin kepada kebenaran..”

Aris mengganggukkan kepalanya, “tapi apakah berarti kita tidak perlu mempercayai kitab suci...” Aris penasaran dengan pernyataan ibunya yang sebelumnya.

“Begini Ris, kita memang harus mempercayai nabi, mempercayai kitab suci, tetapi beragama merupakan hubungan pribadi kita dengan Allah, jadi kita berhak dan mempunyai kesempatan untuk mendapat petunjuk ‘langsung’ dari Allah mana nabi yang benar, mana kitab suci yang benar, dan mana agama yang benar, jangan asal percaya, karena masak Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan menunjukkan kebenaran kepada orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran?”


Terima kasih kepada: 39 visitors (44 hits) di halaman ini.

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free