Generasi Bebas
     Pandangan Hidup
     Misi Hidup
     Tingkat Moral
     Mencari Kebenaran
     Menilai Kebenaran
     Orang Indonesia
     Don't Care
     Phase Cinta
     Kebutuhan Utama
     Mengapa Jahat
     Adil = Unik
     Tujuan Hidup
     Komunikasi...
     Penyakit Politik
     Sistem Berpikir
     Kendali Pikiran
     Kebodohan
     Sukses = Berubah
     Iman & Kebenaran
     Kunci Sukses
     Pemerintah Idola
     Sex Education
     Ilmu & Kebenaran
     *sekilas
     *pulang kampung
     *share
     *Buku Tamu
     *kontak admin



Novel "GENERASI BEBAS" - Iman & Kebenaran


20

IMAN DAN KEBERANIAN

 

Mendengar bahwa ada Navratilova pulang juga kekampung itu, benar-benar membuat perasaan Aris terhadap Navra yang selama ini tersembunyi menjadi meledak.

Karena itulah Aris pun mulai mengatur rencana untuk menggunakan kesempatan tersebut, sehingga berbagai ide pun muncul, salah satunya: “bagaimana kalau aku mengajak dia mancing?” Aris berbicara sendiri sementara baring-baring siang, “ya betul, ngajak mancing aja!” Aris mengambil keputusan.

Untuk menghindari kecurigaan bahwa “ada perasaan” di balik rencana memancing itu, Aris pun terpaksa mengajak juga Della bersama ikut memancing.

“Kenapa Ris?” pak Anton menghampiri Aris yang berdiri di depan pintu rumah tempat orang tua pak Anton tinggal, atau rumah kakek dan neneknya Navra.

“Iseng aja pak, kebetulan lewat mau mancing, kapan datang pak” Aris coba berbasa basi untuk menutupi kegugupannya.

“Oh, kemarin lusa, kalo tau kamu pulang juga sebenarnya bisa kita sama-sama, ikut bis ya kemarin?” pak Anton tersenyum lebar.

“Ikut kapal pak, lebih nyaman ikut kapal, bisa melihat pemandangan…” Aris sedikit bercanda dan ikut tersenyum lebar.

“Oh itu adikmu?” pak Anton melirik kepada Della yang berdiri agak jauh.

“Ya pak, dia Della adikku, oh ya pak, dia bilang mau ngajak Navra mancing” Aris menjual nama adiknya kepada pak Anton.

“Oh ya, baguslah gitu…” pak Anton langsung memanggil Navra, “kamu mau ikut mereka mancing disungai?”

Navra menganggukkan kepalanya, tetapi kemudian dia nampak kebingungan, seperti tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ayahnya, pak Anton.

“Pra, coba kamu pinjam pancing punya nenek mu..” pak Anton menjelaskan kepada Navra, kemudian “tunggu sebentar ya, Navra lagi pergi ambil pancing neneknya!” pak Anton menoleh kepada Aris.

Aris hanya mengangguk, mengendalikan gejolak emosinya yang kesenangan, “berhasil nich!” Aris meyakinkan diri.

“Hati-hati ya, disungai banyak buaya, ngak usah pakai perahu ” pak Anton berpesan begitu Navra keluar dari dalam rumah dengan pancing ditangannya, namun dengan gaya sedikit bercanda.

“Ya, pa!” Navra menyahut, kemudian diikuti Aris mengganggukkan kepalanya.

Aris tersenyum kepada Navra untuk pertama kalinya, “ayo kita berangkat…” kemudian berpamitan kepada pak Anton, “kami pergi ya pak?”

Seperti kebiasaan orang dikampung itu, mereka bertiga pun berjalan menyusuri sungai mencari tempat yang paling ‘baik’ untuk memancing, sehingga merekapun semakin jauh memasuki hutan.

“Kamu ngak takut?” Aris bertanya kepada Navra untuk mencairkan suasana kaku, didalam hutan itu.

“Takut apa?” Navra pura-pura tidak mengerti maksud Aris, namun tersenyum lembut kepada Aris sementara mereka terus berjalan.

“Ngak takut buaya?”

“Buaya darat?…he..he…” Navra tertawa kecil membuat Aris dan Della ikut tersenyum.

“Oh, kita mancing disana aja!” Aris menunjukkan tempat yang teduh dan juga yang airnya mengalir lebih tenang.

Merekapun mengatur posisi duduk yang lebih nyaman dan mulai memancing, selanjutnya masing-masing pura-pura asyik dengan pancingnya.

“Kak Aris, sepertinya aku rasa kakak itu suka ma aku kan?” Navra menoleh kepada Aris bersama sebuah senyuman, sementara memancing.

Aris terkaget dan mukanya secepat kilat memerah, “aaaa…paaa?” Aris pura-pura tidak mengerti maksud Navra.

Pernyataan dan pertanyaan yang begitu terus terang dari Navra itu benar-benar membuat Aris merasa sangat malu, Aris tidak menyangka seorang anak yang masih kelas dua SMP itu bisa berkata seberani itu. Karena memang Aris punya persepsi bahwa gadis seumuran Navra pasti akan selalu malu-malu berterus terang soal cinta, tetapi ini justru sebaliknya, Aris yang malah menjadi malu-malu.

“Sorry, ya kak Aris, kalau aku ge’er nich, benarkan kak Aris suka ma aku?” Navra mengulang pertanyaannya tanpa sedikitpun gaya dan nada malu-malu.

“Ya…ya…Pra, ga pa-pa kan?” Aris nampak gugup dihadapan seorang anak gadis yang sebelumnya dia pikir bisa dipermainkan perasaannya.

“Iyalah…ga ada masalah kok, itu kan normal ya kan Del?” Navra tersenyum kepada Della yang pura-pura tidak mendengar percakapan itu. Della pun hanya menganggukkan kepalanya.

“Jadi aaa…ku..?” air muka Aris spontan berubah.

“Terus terang aja aku juga sangat suka sama kak Aris, tapi sesungguhnya aku udah punya pacar di Balikpapan kak…” Navra coba tersenyum kepada Aris.

“Oh, gitu ya…” Aris mulai bisa memanifulasi emosinya, “tapi kalau seandainya…” Aris dengan gaya sedang mengkhayal, “seandainya….!” Aris coba merangsang rasa ingin tahu di hati Navra.

“He…he…he…” Navra tertawa seakan mengerti maksud Aris, “jangan kwatir kak, pacaran kan masa penjajakan, jadi, kalau disini maka kakak yang menjadi pacar ku, ya…seandainya aku putus sama pacarku di Balikpapan, maka kita bisa melanjutkan hubungan kita, ya kan kak?”

Aris mengganggukkan kepalanya, tersenyum tawar, “mungkin Navra merasa tidak nyaman menolak cinta ku sehingga dia berkata begitu” Aris coba menduga dalam rasa kecewa.

“Terus terang aku kagum dengan keberanian mu, aku tidak nyangka ternyata kamu begitu dewasa dalam berpikir, tidak seperti yang aku duga tentang gadis seumuran kamu…” Aris akhirnya mengakui keheranannya terhadap Navra.

“Oh, biasa saja kok…” Navra merendah, “emang sudah jaman kita tidak lagi harus malu-malu, kita harus berani menyatakan perasaan kita, kita akan sengsara jika kita tidak mau menyatakan perasaan kita dengan terus terang, lagi pula ngomong-ngomong soal keberanian seorang pernah menulis bahwa tidak ada keajaiban tanpa iman, namun tidak ada iman tanpa keberanian, benarkan?” Navra tersenyum keibuan, “kita harus memiliki keberanian, jika kita ingin melihat keajaiban dalam hidup kita.”

Sekali lagi Aris hanya bisa mengganguk-anggukkan kepalanya, dalam hatinya tersirat bahwa Navra mirip ibunya, “wanita seperti inilah yang aku cari!” namun “bisakah aku mendapatkannya?”


Terima kasih kepada: 30 visitors (34 hits) di halaman ini.

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free