Generasi Bebas
     Pandangan Hidup
     Misi Hidup
     Tingkat Moral
     Mencari Kebenaran
     Menilai Kebenaran
     Orang Indonesia
     Don't Care
     Phase Cinta
     Kebutuhan Utama
     Mengapa Jahat
     Adil = Unik
     Tujuan Hidup
     Komunikasi...
     Penyakit Politik
     Sistem Berpikir
     Kendali Pikiran
     Kebodohan
     Sukses = Berubah
     Iman & Kebenaran
     Kunci Sukses
     Pemerintah Idola
     Sex Education
     Ilmu & Kebenaran
     *sekilas
     *pulang kampung
     *share
     *Buku Tamu
     *kontak admin



Novel "GENERASI BEBAS" - Pemerintah Idola


22

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

 

“Masak memancing seharian tapi ngak dapat ikan seekorpun?” Neneknya Aris terkejut begitu memeriksa keranjang yang kosong.

Aris hanya tersenyum langsung menuju meja makan dan seperti orang yang kelaparan dia mulai melahap makanan, dia memang sangat lapar karena hanya sarapan pagi sebelum memancing.

Sebenarnya Aris dan ibunya ada membawa bekal ketika memancing tetapi entah kenapa mereka berdua tidak memakannya sehingga bekal itu sempat berbau setengah basi.

“Kenapa memancing seharian kalau tidak ada ikannya?” neneknya lanjut mengomel begitu ibunya masuk kedapur. Sama seperti Aris ibunya hanya tersenyum dan juga langsung mengambil posisi di meja makan berhadapan dengan Aris.

“Ikan disungai memang ada banyak nek, tapi ikan-ikan itu sombong-sombong, mereka ngak mau makan umpan kami,” Aris setengah tertawa diikuti senyum ibunya.

“Besok mancing lagi yuk mak?” ajak Aris dengan ekpresi mengejek kepada nenek.

“Ah! Lihat nenek kamu akan marah lagi kalau kita mancing ngak dapat ikan, besok kita keladang aja,” ibunya memulai sebuah senyuman lagi.

“Mana Della?” Aris tiba-tiba serius.

“Ah, dia lagi menyelesaikan tugas pendidikan moral Pancasila” ibunya menyahut kebetulan memang ibunya sekamar dengan Della jadi dia tahu kegiatan Della.

“Pancasila? Ngapain belajar Pancasila….Pancasila itu sudah tidak relevan lagi…Pancasila itu diskriminatif, seperti sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena apakah semua bangsa Indonesia ini percaya bahwa Tuhan adalah Maha Esa? Aku yakin ini hanya merupakan keyakinan agama-agama mayoritas di negara ini, ya kan?” Aris mengambil gaya seakan berpikir keras,  “dan jika benar demikian bahwa itu merupakan keyakinan dari agama tertentu dan bukan keyakinan seluruh rakyat Indonesia maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini jelas bisa dikatakan sebagai sila diskriminatif, lagi pula apa artinya sila ini di tempatkan dalam ideologi negara karena bagi orang yang mempercayainya itu sudah jelas berdasarkan kitab suci mereka, mereka tidak beragama kepada negara…” Aris nampak bersemangat karena Aris merasa untuk pertama kali dia mengungkapkan analisa yang begitu tajam, setelah selama ini dibanjiri oleh analisa ibunya.

“Memang jika kita menilai dari segi kepraktisan, kejelasan dan relevansi, ideologi Pancasila nampak kurang praktis, sulit dimengerti, tidak relevan, bahkan nampak diskriminatif, namun itu justru menunjukkan kedalaman makna dari Pancasila tersebut, makanya hampir semua doktrin kebangsaan atau ketata negaraan kita bersumber dari Pancasila, contohnya dokrin Penos tentang tanggung jawab para penguasa” ibunya coba menetralisi pendapat Aris.

“Dokrin apa ma? Aku ngak tau orang lain menurutku ideologi Pancasila itu terlalu abtrak…Pancasila terlalu puitis ma….” Aris tertawa terbahak-terbahak.

“Pancasila memang kadang kurang menarik dipelajari, terus-terang aja mama juga malas membaca tentang suatu yang berhubungan dengan Pancasila, seperti UUD dan sebagainya, tetapi mama sempat tertarik dengan doktrin Penos yang begitu sederhana tetapi jelas, seperti yang mama sebut tadi.

Doktrin tersebut hanya meliput tiga poin tanggung jawab penguasa yaitu:

 

  1. Meningkatkan taraf hidup rakyat melalui pendidikan yang berkualitas, praktis dan modern.
  2. Membangun sekaligus mempertahankan budaya hidup taat beragama, saling menghormati antar umat beragama dan kebebasan menjalankan agamanya.
  3. Mewujudkan pemerintahan yang melayani, yang menegakkan keadilan, yang menerapkan sistem birokrasi yang jelas, bersih dan sistematis”

 

“Wah, doktrin yang bagus juga, dari mana mama dapat itu?” Aris memotong.

“Ya dari bukulah! Dokrin itu nampak jelas dan sederhanakan? Seperti pada poin pertama: meningkatkan taraf hidup rakyat melalui pendidikan yang berkualitas, praktis dan modern. Konsep ini muncul dari keyakinan, bahwa suatu bangsa akan makmur sejahtera bila sistem pendidikan dinegara itu berkualitas, atau bisa menghasilkan lulusan yang bermoral, mandiri dan kreatif. Untuk itulah agar bisa mewujudkan sistem pendidikan yang berkualitas maka pemerintah harus memfokuskan atau memprioritaskan pembangunan dalam sektor pendidikan, sementara selama ini pemerintah tidak pernah menerapkan pola atau konsep itu, itulah mungkin kita kadang berpikir bahwa ideologi Pancasila tidak jelas arahnya, karena pemerintah tidak tau cara melaksanakannya.”

“Aku setuju ma, itu betul, seharusnya bangsa kita seperti bangsa Jepang, fokus membangun sistem pendidikan yang berkualitas,” Aris nampak bersemangat.

“Pada poin kedua” ibunya nampak terlalu serius dengan doktrin itu, “yaitu membangun sekaligus mempertahankan budaya hidup taat beragama, saling menghormati antar umat beragama dan kebebasan menjalankan agamanya. Memang seharusnyalah pemerintah bertanggung jawab membangun budaya hidup bukannya membiarkan suatu budaya hidup berkembang sendirinya, karena itulah jika budaya hidup yang taat beragama yang akan dibangun, maka salah satunya pemerintah harus tegas membendungi budaya hidup luar yang merusak, seperti kehidupan malam, hiburan-hiburan dan lainnya, meskipun ini tentunya bertentangan dengan ‘gerakan kebebasan’ tetapi itulah gunanya pemerintah mengendalikan ‘budaya hidup’ bangsanya. Mungkin terlalu ektrim, pencetus doktrin ini bahkan sempat menganjurkan agar setiap azan Magrib berkumandan semua orang harus berhenti dari aktivitasnya, kendaraan-kendaraan dijalan harus berhenti setidaknya lima menit, untuk berdoa bagi bangsa ini, entah dia agama apa saja, tidak pernah salah berdoa pada sore itu, ini nampak terlalu sederhana tetapi budaya hidup itu mulai dari suatu yang sederhana, semoga dengan ‘lima menit berhenti sejenak’ itu setidaknya akan mencipta kebiasaan bersama kemudian menjadi budaya hidup bangsa yang percaya dan menghargai Tuhan.”

“Memang musuh suatu agama adalah budaya asing, karena agama adalah budaya hidup sementara budaya asing itu bisa merusak budaya hidup beragama itu” Aris mengangguk-nganggukkan kepalanya.

“Oke kemudian, poin ketiga: mewujudkan pemerintahan yang melayani, yang menegakkan keadilan, yang menerapkan sistem birokrasi yang jelas, bersih dan sistematis” ibunya nampak sudah terlarut dalam pemikirannya, “jika pemerintah sudah seperti ini maka jelas ini merupakan pemerintah yang disayang rakyat, tidak selama ini pemerintah adalah musuh rakyat, karena selama ini pemerintah suka dengan birokrasi yang berbelit-belit, contohnya, coba aja pergi ngurus KTP, SK, Surat Kelakuan Baik, Legalisir Ijazah, dan lainnya, pasti kita akan dipersulit, kadang informasi dari seorang berbeda dengan orang lainnya, yang satu bilang harus begitu sementara yang lain bilang harus begini, ditambah ‘ongkos administrasi’ yang menguras saku, intinya pemerintah sekarang belum melayani rakyat sebaliknya minta dilayani oleh rakyat, coba aja kamu pergi ke kantor bupati mau menemui bupati, kamu akan bingung dengan harus begini begitu…” ibunya dengan nada mengeluh.

“Ah, ma, jangankan bupati, camat aja sulit ditemui, apalagi anggota DPR yang notabenenya wakil rakyat, yang seharusnya akrab dengan rakyat justru selalu menghindari rakyat, aneh kan? Mengapa begitu ya?”


Terima kasih kepada: 20 visitors (24 hits) di halaman ini.

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free